Masa Depan Moralitas Gen Z

 Pada tahun 2018 Pusat pelayanan Terpadu pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) merilis 8 kasus kejahatan anak dan perempuan. Mirisnya, jumlah pelanggaran tersebut masih didominasi oleh kejahatan seksual terhadap anak. Sangat meresahkan. Muncullah pertanyaan, dari mana anak-anak mendapat informasi tentang seksualitas? dari guru, orang tua, teman atau internet?


Sangat sering ditemukan, saat ini warnet tidak lagi dipenuhi oleh para mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir, namun banyak ditemui anak-anak sekolah menggunakan jasa warnet. Mereka berkompetisi dengan teman sebayanya dalam "game online". Ironisnya, mereka masih menggunakan seragam sekolah, bahkan tidak jarang ditemukan pada jam-jam aktif sekolah.

Situs-situs yang tidak semestinya diakses oleh anak di bawah umur dapat secara bebas oleh anak-anak, baik lewat gadget maupun lewat warnet. Di samping mereka bermain game online, controlling orang tua dan guru pun menjadi semakin terbatas ketika para orang tua dan guru masih jauh di bawah anaknya dalam hal penguasaan internet. Sehingga pembatasan akses melalui pemberian password dan kepemilikan gadget menjadi tidak lagi efektif.

Setidaknya hasil riset yang dilakukan olh Ernest Doku seorang ahli telekomunikasi dari Uswitch menjadi peringatan bagi para orang tua dan pendidik. Ia mengatakan bahwa lebih dari seperempat anak-anak di seluruh dunia memiliki komputer genggam sebelum usia mereka genap delapan tahun. Masih mennurut Ernest, satu dari tiga anak bahkan mulai menggunakan smartphone ketika berumur tiga tahun. Satu dari sepuluh anak menikmat gadget dalam usia yang lebih muda yakni dua tahun. Fenomena ini menunjukan, jutaan anak mengalami kecanduan gadget. Penelitian yang dilakukan oleh salah satu sekolah swasta di Jawa Timur juga menunjukan hasil yang mengkhawatirkan. Lebih dari 60% siswa sekolah menengah pertama mengalami kecanduan gadget.

Wah ternyata sebegitu berpengaruhnya gadget pada generasi Z, apakah ada cara untuk menyelamatkan moralitas anak akibat dari kecanduan gadget? Jawabannya bisa melalui pendidikan.

Pendidikan sebagai sebuah sistem merupakan satu kesatuan utuh , dengan bagian-bagiannya yang berinteraksi satu sama lain yang tak dapat dipisahkan. Pesan orang tua, guru dan masyarakat menjadi sebuah kesatuan holistik dalam mendidik anak. Tripusat pendidikan tersebut berebut saling mempengaruhi anak. Sering kali orang tua lebih dominan dibanding guru, tapi terkadang guru menjadi lebih berpengaruh dari orang tua. Namun bisa jadi masyarakat dan lingkungan lebih berpengaruh dari guru dan orang tua terhadap pembentukan moralitas anak.

Dalam sebuah penelitian dijelaskan bahwa, efek visual baik melalui video maupun gambar lebih lama tertanam pada memori anak dibandingkan pada apa yang hanya mereka dengar, baik di rumah maupun di kelas. Karennya sering kali orang tua maupun pendidik merasa tidak pernah mengajarkan sesuatu, namun anak didik mampu melakukan itu dan memahaminya dengan baik, padahal belum tentu sesuatu tersebut sesuai dengan umur mereka.


Tentu elemen di atas  kurang lengkap tanpa dukungan pemerintah. Karenanya komitmen presiden Jokowi terhadap perlindungan hak-hak anak perlu kiranya di apresiasi. Sebab komitmen tersebut merupakan bentuk nyata presiden terhadap perlindungan hak-hak anak, mengingat bahwa kasus kekerasan terhadap anak selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Selain itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah tidak tinggal diam, dengan melakukan sosialisasi dan pendampingan bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Guernica: Ketika Tulisan Teriak

Tatapan Abadi dari Masa Lalu

Hari yang Cerah Redup Seketika